Translate

Minggu, 13 September 2015

Pendekatan ABC dalam pencegahan HIV - AIDS

Sumber Gambar: http://www.wgsi.utoronto.ca/GAAP/publications/opening/workshop.html

Sebagaimana kita telah sering mendengar bahwa faktor penularan HIV terbesar adalah:

  1. Prilaku Seks Tidak Bertanggungjawab
  2. Penggunaan NAPZA Suntik tidak aman
  3. Jalur Melahirkan
Dua pola penularan di atas merupakan hasil dari sebuah prilaku yang mana bila ada sebuah pedoman dengan pemahaman serta persebaran informasi baik dapat menekan penularan HIV.

Dalam pembahasan sebelumnya terkait stigma dan diskriminasi, kita telah mulai memahami bahwa pentingnya menjadi seorang role model dengan acuan perilaku baik dan bertanggungjawab termasuk penguasaan informasi untuk mencegah penularan. Pendekatan yang selama ini diketahui jamak dikenal sebagai: "Pendekatan ABC".

Dalam konteks penularan melalui prilaku seks. Pendekatan ABC memiliki kepanjangan

A Sebagai Abstain

Abstain sebagai bentuk sikap pengejawantahan seseorang dari nilai dan norma (termasuk agama) yang diperoleh semenjak kecil mengenai pilihan untuk tidak melakukan sama sekali prilaku seksual sehingga siap. Dalam hal kesehatan produksi pun dipahami bahwa beberapa organ seksual sebaiknya baru mulai aktif melakukan prilaku seksual dalam usia tertentu. Dampak dari prilaku seksual yang terlalu dini (selain penularan HIV dan Penyakit menular Seksual) adalah pada masalah terganggunya fungsi organ seksual seseorang.

B Sebagai Be Faithful

Be faithful atau "menjadi setia" adalah sebuah upaya untuk melakukan hubungan seksual dengan satu pasangan saja sebagai salah satu bentuk tanggungjawab secara konkrit. Dengan menekan jumlah pasangan dipercaya dapat menekan resiko untuk terjadinya prilaku seks yang tidak bertanggungjawab. Dengan satu pasangan yang sah secara agama dan hukum kita melindungi diri dan pasangan untuk mencegah masuknya virus dari luar (terkait pola seks berganti pasangan).

C Sebagai Condom

Condom, Jika kita mempercayai "Pendekatan ABC" sebagai sebuah upaya pencegahan penyebaran HIV dengan pendekatan yang sistematis. Maka, penggunaan kondom merupakan mekanisme pertahanan terujung di mana kita meyakin kondom sebagai benteng terakhir penularan virus HIV, di mana dengan penggunaan kondom kita mengikis stigma dan meyakini bahwa

setiap orang tanpa pandang bulu latar belakangnya memiliki resiko penularan HIV terlebih jika prilaku seksualnya cenderung tidak bertanggungjawab

Lalu bagaimana dalam konteks penyebaran HIV melalui NAPZA? Atau lebih khusus lagi pada komunitas Pengguna NAPZA Suntik (Penasun). Kurang lebih sama. Hanya saja Abstain dalam isu penasun adalah pilihan untuk tidak menggunakan NAPZA atau pilihan untuk tidak menggunakan metode disuntikan. Be faithful dalam isu penasun adalah untuk tidak menggunakan jarum suntik (sebagai media penularan virus) secara bergantian atau beramai - ramai. Condom dalam isu NAPZA digantikan medianya dengan jarum suntik steril.

"Dalam upaya menegakan pola pencegahan dengan pendekatan ABC pemerintah melalui Komisi Penanggulangan AIDS  Nasional (KPAN) beserta kementerian terkait telah melaksanakan program kondom dan LASS (Layanan Alat Suntik Steril) di Rumah Sakit dan Pusat Kesehatan Masyarakat rujukan" demikian pernyataan Pengelola Program KPA Kabupaten Tangerang, Hady Irawan.

Sejauh mana pendekatan ABC dan program yang menyertainya memiliki tingkat keberhasilan akan dibahas dan dijabarkan pada Pertemuan Nasional AIDS V di Makassar pada Oktober 2015 nanti. Mari kita sukseskan upaya pencegahan penyebaran penularan HIV secara bersama, pemerintah dan masyarakat. Sampai berjumpa di Makassar!

Rabu, 26 Agustus 2015

Diskriminasi Dalam Isu HIV - Ruang dan Pencegahan



Pada kesempatan sebelumnya kita sudah membahas mengenai stigma pada isu HIV. Tulisan kali ini akan membahas jika diskriminasi yang dilatarbelakang oleh stigma telah tertanam dan mengakar di pemikiran masyarakat secara sadar atau tidak sadar. 

Tindakan pembedaan pada ODHA akan menggambarkan secara konkret bagaimana stigma berkembang menjadi sebuah diskriminasi. Sebelum membahas lebih mendalam mari kita sepakati bersama terlebih dahulu dengan sederhana apakah yang dimaksud dengan diskriminasi? yakni, tindakan - tindakan bersifat merugikan berlatarbelakang hirarkis struktural berbentuk pembedaan, pembatasan dan pemisahan hak dengan pembenaran akan ketakutan terhadap suatu hal yang tidak diketahui.


Courtesy: Okezone.com


Untuk memetakan kondisi di masyarakat terkait situasi diskriminatif kepada ODHA. Kita dapat membaginya menjadi 3 kelompok: 



  1. Diskriminasi oleh masyarakat, keluarga dan lingkungan
  2. Diskriminasi oleh negara (pemerintah)
  3. Diskriminasi oleh ruang kerja (perusahaan/swasta) 

1. Diskriminasi oleh Masyarakat, Keluarga dan lingkungan

Merupakan lingkup terkecil dan terdekat dari ODHA. Saat seseorang pertama kali mengetahui status HIV-nya kemungkinan besar orang terdekat yang mengetahui adalah keluarga: orang tua, pasangan dan saudara. Harapannya adalah adanya dukungan terkuat muncul dari mereka. Namun, bila mereka tidak terpapar informasi dengan baik dan benar kemungkinan yang terjadi justru sebaliknya; timbul diskriminasi. Oleh karena itu penguatan dalam konseling individu dan keluarga menjadi vital menjembatani komunikasi pasien, layanan kesehatan dan keluarga paska penerimaan statusnya. Penerimaan dari keluarga menjadi pemicu dukungan yang mempengaruhi penguatan ODHA secara psikis. 


Seorang ODHA yang berdaya biasanya mengantisipasi situasi ini dengan pelbagai strategi. Beberapa langkah diantaranya: Menyiapkan materi KIE (komunikasi, Informasi dan Edukasi) terkait HIV - AIDS dalam bentuk: Selebaran, majalah, buku bahkan film untuk dipelajari bersama keluarganya.


Keluarga yang mampu menerima status ODHA menjadi awal terbentuknya keluarga yang berdaya dalam isu HIV bahkan  dapat menjadi role model untuk keluarga ODHA lainnya sehingga menjadi jalan terbinanya citra ODHA yang baik dan benar di masyarakat.


Dalam konteks lingkungan selain skala terdekat yakni, tempat tinggal. Juga tak kalah penting dan menjadi perhatian adalah lingkungan belajar (pendidikan) atau sekolah. Kerap kali pemberitaan di media massa mengabarkan tentang siswa yang dijauhi atau dipaksa keluar oleh sesama orang tua/wali murid dikarenakan memiliki status HIV. Bahkan terdapat kasus di mana sekolah sendiri tanpa ada desakan pihak mana pun langsung memberhentikan anak didiknya yang berstatus HIV demi menjaga pencitraan sebagai sekolah unggulan. Mungkin.

Untuk isu dalam lingkungan atau dunia pendidikan ini sangatlah penting tidak hanya satu kelompok di masyarakat saja yang bertindak menanggulangi isu ini melainkan dengan kerjasama bersama pemerintah serta kelompok lainnya di masyarakat dalam melakukan kampanye anti diskriminasi di lingkungan pendidikan.

2. Diskriminasi Oleh Negara (Pemerintah)


Bagaimana Negara dapat melakukan diskriminasi kepada warganya dalam konteks kesehatan atau isu HIV? Negara dapat diskriminatif melalui: individu, lembaga dan kebijakan.


Individu: Sadar atau pun tidak sadar, oknum aparat pemerintahan kerap dan dapat bertindak diskriminatif dan melupakan etos pemerintahan dalam memberikan pelayanan kepada warganya secara non diskriminatif. Hal ini terjadi bisa akibat minimnya informasi, pengetahuan terkait hal yang ditangani serta menjadi tanggungjawab pengabdiannya. Terlebih bila (dan faktanya berdasarkan data memang kebanyakan) pasien HIV ini dari kalangan masyarakat miskin. Sebagaimana kita mengetahui banyak layanan saat ini telah di-cover oleh BPJS demi memudahkan akses layanan kesehatan bagi masyarakat miskin. 


Sudah bukan rahasia masyarakat miskin menanggung stigma dikarenakan kemiskinannya sehingga timbul paradigma di kepala oknum aparat pemerintah untuk menomorsekiankan pelayanan kepada mereka. Beberapa kali oknum aparat terbukti memberikan pelayanan tidak profesional, menjelekan status kemiskinan sebagai dampak kemalasan masyarakat miskin dan bahkan memaki mereka untuk menerima pelayanan kesehatan dengan apa adanya tanpa banyak protes (beberapa kasus terungkap di media sosial). 


Pada kasus seperti ini di mana diskriminasi telah menghambat pelayanan terhadap warga negara dikarenakan status kemiskinan dan penyakitnya (HIV) menjadikan kapasitas dan profesionalisme dari pengabdian para aparatur pemerintahan sebuah pertanyaan besar.

Lembaga: Bagaimana dengan sikap pemerintah bila terjadi kasus di mana ada PNS terbukti berstatus HIV positif? Skala prioritas pada pemerintah daerah terkait isu HIV pun dapat menjadi indikator di mana beberapa Pemerintah Daerah bahkan cenderung berkilah bahwa daerahnya bebas isu HIV karena berlatarbelakang agamis sehingga HIV atau ODHA (yang kerap dicap sebagai penyakit atau orang kutukan) tidak menjadi fokus dalam pembangunan daerahnya.

Kebijakan: Terkait otonami daerah banyak kebijakan atau Peraturan daerah (PERDA) dalam penyusunannya ternyata tidak berbasis kebutuhan daerah melainkan dikarenakan pencitraan penguasanya demi mendapatkan simpati pendukungnya. Semisal jika sebuah daerah memilikin kecendrungan identik dengan agama tertentu sebagai basis suara atau dukungan terkuat maka penguasa akan lebih bergerak menciptakan peraturan yang akan memberi dukungan kepadanya terlepas jika dampaknya justru kontra produktif. Beberapa kebijakan bahkan cenderung diskriminatif seperti: PERDA Hijab dan pelarangan keluar atau jam malam bagi perempuan yang mendiskriminasikan gender dan tidak menjawab bahkan menciptakan permasalahn baru. 

Lalu bagaimanakah langkah pemerintah untuk menjawab permasalahan diskriminasi ini?

  • Sosialisasi program secara menyeluruh dan optimal disertai pengawasan program kepada jajarannya secara berkala dalam isu HIV.
  • Menyelenggarakan pelatihan demi merespon program yang akan berjalan serta menanamkan etos kerja juga profesionalisme pada aparat.
  • Menyusun regulasi internal terkait program dan kelembagaan termasuk mengatur pemberian sanksi pada kategori pelanggaran yang terbilang serius sehingga mendukung terciptanya pelayanan non diskriminatif dalam pemerintahan. 
  • Melibatkan LSM, Ormas secara lebih intensif dalam penyusunan peraturan atau kebijakan di berbagai tingkat pemerintahan.

3. Diskriminasi Oleh Ruang Kerja (Perusahaan/Swasta)

Baik pada proses pengumuman, penyaringan, pelatihan, proses kerja dan paska kerja kerap ditemukan dan terjadi permasalahan yang terkait isu diskriminasi. Dalam konteks HIV kita akan membedah macam dan pencegahannya. 

Sebagaimana pada negara model pelaku diskriminasi pada ruang kerja pun dibagi menjadi: orang dan lembaga. Orang disini dapat diartikan sebagai atasan atau sesama pekerja. Sedangkan lembaga dapat berbentuk perusahaan, divisi/bidang dan kebijakan.

Contoh diskriminasi yang dilakukan oleh orang pada ruang kerja: pengucilan dari pergaulan ODHA yang dilakukan rekan pekerja lainnya. Sementara perusahaan dapat melakukan diskriminasi kepada ODHA sebagai berikut: Melarang ODHA bekerja di perusahaan tanpa bukti pertimbangan kesehatan yang valid hanya berbasis asumsi, pemberhentian hanya karena status HIV dari pekerja. Dalam konteks kebijakan perusahaan misalnya: Pemberhentian semena-mena tanpa uang pesangon atau sesuai ketentuan yang manusiawi sebagaimana layaknya, tidak adanya pemberian cuti bagi ODHA yang sedang perawatan dalam stadiu kritis atau fase AIDS.

Asuransi kesehatan yang dikelola pihak swasta pun sampai saat ini sangat ragu dalam memberikan klaim terkait penyakit bawaan atau infeksi oportunitis bila seseorang memiliki status HIV sebagai pasien.

Hal apakah yang seyogyanya menjadi perhatian dan rekomendasi dalam isu diskriminasi ODHA di ruang kerja?


  • Perusahaan bekerjasama dengan pemerintah (dikordinasikan oleh KPA), LSM dan lembaga PBB seperti ILO mengadakan sosialisasi atau penyuluhan kesehatan terutama dalam hal ini isu HIV.
  • Pemerintah membentuk regulasi berbasis referensi dari panduan yang telah dikembangkan oleh ILO terkait ruang kerja yang anti diskriminasi.
  • LSM dan Ormas mendorong agar pemerintah memperbaiki regulasi yang ada terkait bantuan sosial, asuransi sehingga pasien HIV mendapatkan haknya dengan tidak dipersulit permasalahan akses dan administrasi
Dalam hal penyusunan pelbagai Undang - Undang atau produk hukum serta kebijakan atau pun penganggaran yang terkait harkat hidup ODHA maka perlulah kiranya didorong pemberdayaan sehingga terjadi keterlibatan yang optimal di mana hak dan suara ODHA dapat disampaikan dan dipenuhi sesuai kebutuhan dari permasalahan yang ada. Oleh karena itu rekomendasi lain untuk ODHA khususnya adalah penguatan kapasitas sehingga memiliki kompetensi untuk terlibat dalam penyusunan dan pengambilan keputusan yang bersifat strategis dan berbentuk formal.

Maka momentum Pertemuan Nasional AIDS V Tahun 2015 di Makassar nanti menjadi vital sebagai titik kordinasi yang difasilitasi oleh Komisi Penanggulangan AIDS Nasional sebagai fasilitator dari pihak pemerintah dengan LSM, Ormas serta perusahaan atau Swasta dalam perumusan strategi penanggulangan AIDS nasional berdasarkan pengalaman dan temuan yang dijabarkan pada pertemuan tersebut. Di mana tentunya isu stigma dan diskriminasi masih memiliki tempat untuk dibahas secara menyeluruh. Sampai berjumpa di PERNAS AIDS V 2015 di Makassar. Salam.


Jumat, 31 Juli 2015

Stigma Pada Isu HIV - Hakim Yang Kerap Memvonis Buruk


Courtesy: aids.about.com

Saya kerap mencoba mencerna pelbagai isu yang ada di masyarakat. Salah satu yang menarik adalah dalam hal konflik keberagaman dalam masyarakat kita yang heterogen. Konflik keberagaman memuat cerita tentang ketakutan yang diwarnai pemanfaatan dengan cara mengobarkannya sehingga meledaklah dalam bentuk kekisruhan sosial. Lalu dari manakah ketakutan dapat muncul begitu menakutkan dan meluas dampaknya?

Ketakutan sering sekali berangkat dari ketidaktahuan. ketidaktahuan yang menuai prasangka. Prasangka yang menjadi sebuah cap. Cap pada sebuah golongan, kaum, kelompok. Cap buruk yang jamak dikenal sebagai stigma.

Dalam hal mengenal stigma, dampak dan bagaimana menekannya saya akan coba mempersempitnya melalui kaca mata sebuah isu: Isu kesehatan, kita perkecil kembali menjadi kontekstual HIV dan AIDS.

Dalam hal isu HIV kita mungkin bisa asumsikan betapa pengetahuan masyarakat sangat kecil terutama pada awal ledakan infeksi wabah ini (Bali, kisaran pertengahan tahun 80-an). Dewasa ini keadaan sudah bisa kita katakan jauh lebih baik, walau memang stigma tidaklah hilang secara penuh dan mungkin stigma tidak akan pernah hilang dari muka bumi dalam hal isu apapun. Setidaknya saat ini pengetahuan dan keterlibatan masyarakat telah mencapai titik yang baik.

Di awal, ketidaktahuan pada masyarakat mengakibatkan stigma melekat utamanya pada Orang Dengan HIV - AIDS (ODHA) tidak terlepas juga mengena pada orang - orang terdekat mereka (OHIDA). Stigma pada awalnya memang prasangka yang dalam dampak membesar menjadi tindakan yang bersifat diskriminatif. ketakutan pada masyarakat berimbas menjadi ketakutan pada mereka orang - orang yang memiliki prilaku risiko tinggi untuk infeksi HIV agar membuka diri dan melakukan langkah pencegahan dini. Hal ini pun sebenarnya termasuk juga di masyarakat secara luas. Ketakutan mengambil langkah pencegahan dini (Utamanya tes HIV/VCT) memunculkan sebuah problema atau fenomena yang dikenal sebagai "gunung es" di mana angka penyebaran infeksi HIV hanya merupakan wujud puncak dari gunung es tersebut. Kita hanya meraba-raba bagian dasar (jumlah infeksi HIV) dari gunung es.

Dampak mata rantai dari stigma itu sendiri ternyata sebuah ketakutan menghasilkan ketakutan lainnya. Para kelompok dengan prilaku resiko tinggi takut dengan vonis dari masyarakat mengakibatkan mereka menarik diri dan menjauh dari informasi kesehatan yang dapat membantu dirinya dan mencegah infeksi baru. Hal ini menjadi mimpi buruk dari meluasnya infeksi.

Lalu hal apa yang dapat dilakukan demi mencegah stigma dan dampaknya yang meluas? Beberapa hal berikut dapat menjadi acuan:

1. Edukasi dan Informasi

Menjadi penting adalah untuk mengurutkan informasi terkait apakah atau tentang apakah yang masih sangat kurang dimiliki masyarakat. Hasil observasi dan pemetaan akan menjadi sebuah kurikulum dalam menentukan hal - hal yang penting untuk disampaikan.

2. Komunikasi yang simpatik

Segala informasi yang disampaikan baik secara personal atau kepada publik diharapkan memperhatikan bentuk komunikasi yang simpatik, Dibutuhkan kesabaran dalam menghadapi pertanyaan dan kesalahpahaman yang sekian lama telah mengakar.

3. Kampanye yang efektif

Saat ini begitu banyak media kampanye yang dapat dimanfaatkan selain turun langsung ke lapangan melalui bentuk sosialisasi atau penyuluhan. Mulai dari media cetak, elektronik, internet dan tentu yang terbaru adalah menggunakan media sosial. Upayakan menggunakan pengemasan kampanye yang populer, hindari penggunaan bahasa dan simbol yang: sulit, menyeramkan dan membawa SARA.

4. Munculkan role model yang berdaya

Membuka diri dan berbaur dengan masyarakat umum, menceritakan pengalaman bagaimana hidup dengan atau kebenaran tentang HIV akan membuka masyarakat terlebih jika sang role model / sosok diperlihatkan dapat berdaya dengan segala beban yang diterimanya. Hindari memunculkan role model yang seolah membutuhkan belas kasih dari masyarakat.

Upaya upaya di atas terus dilakukan oleh kelompok dan masyarakat dalam rangka menekan stigma sehingga memberi ruang yang lebih memungkinkan dalam penanggulangan HIV di Indonesia. Masyarakat dengan pelbagai kelompok seperti: Lembaga Swadaya Masyarakat, Kelompok Dukungan Sebaya, Jaringan Nasional dan juga individu. Bekerja bersama bergandengan tangan dengan pemerintah dalam hal ini dikordinasikan oleh Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN).

Kemajuan dan langkah yang telah diambil oleh mereka akan disajikan serta dibahas dengan menyeluruh termasuk mengenai perkembangan penekanan stigma di masyarakat pada Pertemuan Nasional AIDS V 2015 di Makassar.

Pastinya seluruh upaya memerlukan kebersamaan, kesabaran dan ketelitian seluruh pihak sehingga dapat melakukan respon atas gejolak yang terjadi di tengah masyarakat dan menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi di dalamnya.

Selasa, 30 Juni 2015

Fakta dan Mitos Seputar HIV



Sesekali ini saya tergelitik ingin membahas seputar kesehatan nih. Apakah itu? HIV dan AIDS. Wow? Serem. Masa sih? Ayo, mari kita bedah bersama fakta dan mitosnya.

Courtesy: www.pehtem.com


1. Tertular HIV sama dengan terkena AIDS?

Tidak. Ini dua hal yang berbeda walau satu lingkup. HIV adalah Virus yang menyerang sistim kekebalan manusia (Human Immuno Virus). Sementara AIDS adalah sebuah kondisi dimana sistim kekebalan tubuh seseorang telah menjadi begitu lemah dengan disertai berbagai tanda disebabkan infeksi dari virus HIV (Acquired Immune  Deficiency Syndrome).

2. HIV tak dapat disembuhkan

Dengan tehnologi dan obat-obatan terkini, HIV pada tubuh seseorang dapat ditekan hingga mendekati jumlah dimana orang tersebut dapat hidup normal layaknya manusia biasa. Obat-obatan ini salah satunya menggunakan terapi seumur hidup dan beberapa telah disubsidi pemerintah Indonesia, yakni terapi ARV (Anti Retro Viral).

3. Orang Terinfeksi HIV terlihat menakutkan

Orang terinfeksi HIV itu: kurus, kering, banyak luka, koreng, hitam, lusuh dan sebagainya. Orang terinfeksi HIV itu karena ia: pemakai narkotika, pelacur, waria, pendosa, anak haram; TIDAK.
Orang terinfeksi HIV dalam situasi dan masa tertentu bisa terlihat sangat normal dan tanpa gejala sama sekali. Paska terinfeksi HIV dibutuhkan rentang waktu dapat mencapai maks > 15 tahun hingga gejala – gejala tertentu dapat terlihat nyata.
Saat ini infeksi HIV sudah tidak saja di wilayah kelompok khusus yang mendapat pandangan tak baik dari masyarakat: Pengguna Narkotika Suntik, Pekerja Seks, Transgender, dsb. Saat ini wilayah penyebaran HIV sudah di masyarakat umum, pembedaan stigma dan diskriminasi hanya akan mempersulit penanganan pencegahan penyebaran virus HIV di masyarakat.

4. HIV menular dengan berdekatan dan bersentuhan

Sungguh tidak dapat disederhanakan hanya dengan sekadar berdekatan atau bersentuhan biasa dengan seseorang yang membawa virus HIV maka penularannya akan segera terjadi. Setidaknya ada 3 hal yang mendukung: 1.  Ada virus HIV, 2. Ada orang yang membawa virus HIV dan ada orang yang akan ditularkannya, sebagai jalur masuk virus, 3. Prilaku berisiko tinggi menyertainya.

5.  ODHA tidak dapat memiliki anak

Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA) tidak dapat memiliki anak atau keturunan dari ODHA akan selalu pasti membawa virus HIV merupakan sebuah pemikiran  yang kini sama sekali telah terbantahkan. Dengan adanya metode PMTCT: Prevention Mother To Child Transmisition (Pencegahan Penularan Ibu Ke Anak) maka melalui rangkaian metode tertentu secara berurutan, penularan virus HIV (nota bene melalui ibu yang HIV+ ke anak yang dikandungnya) dapat dicegah. Sehingga ODHA saat ini memiliki kesempatan besar untuk dapat memiliki keturunan yang HIV -. Silahkan untuk informasi dan layanan dapat menghubungi rumah sakit rujukan terdekat di daerah anda.

6. Sesama ODHA tidak masalah menggunakan pengaman saat berhubungan seks

Ini merupakan penilaian yang sama sekali salah. Perlu dipahami bahwa salah satu fungsi kondom/pengaman selain fungsi kontrol kehamilan adalah mencegah virus masuk melalui luka atau jalur masuk. Selain melalui tes menyeluruh adalah suatu hal yang sulit untuk mengetahui jumlah dan jenis dari virus HIV seseorang. Jika seseorang dengan jumlah virus rendah atau jenis virus yang tak terlalu kuat kembali terinfeksi dengan orang lain yang memiliki jumlah virus lebih banyak serta jenis virus yang lebih kuat, maka ia akan memperburuk kondisi yang telah dimilikinya saat ini.

7. Pengobatan HIV memiliki kecenderungan mahal

Dahulu saat di Indonesia belum memiliki sistim penanggulangan HIV yang menyeluruh memang betul, kebanyakan obat untuk HIV mahal karena paten dan mengimport dari luar. Namun kini atas upaya advokasi yang dilakukan masyarakat sipil, LSM, OMS bekerjasama dengan KPA dan pemerintah Indonesia maka banyak obat – obatan penting dalam hal ini misalnya ARV telah disubsidi oleh pemerintah. Berikut juga layanan kesehatan lain terkait HIV atau infeksi menyertainya telah banyak ditanggung oleh pemerintah nasional dan daerah.

8. HIV adalah kutukan Tuhan

Seperti telah dijabarkan pada poin ke-3, saat ini infeksi HIV tidak memandang bulu akan targetnya. Selama ada kemungkinan penularan melalui 3 prinsip (ada virus, jalur masuk, prilaku berisiko) maka setiap orang memiliki resiko tertular yang sama. Sebagai perumpaan, dari pada sibuk menerka dan mencari kesalahan bagaimana sebuah ular masuk ke dalam rumah, akan lebih baik sigap mengusir dan mencegahnya masuk ke rumah. Penanganan HIV yang berkemanusiaan akan membantu percepatan dalam penanggulangan tanpa harus sibuk menghakimi pembawa virus yang akan mempersulit proses dalam penanggulangan HIV.

9. Kondom tidak efektif mencegah HIV dan meningkatkan seks yang tidak aman

Tergantung kualitas dan uji ketahanannya, kebanyakan kondom yang beredar saat ini telah melewati prosedur uji kesehatan sesuai standar yang ada. Kondom merupakan bagian dari sebuah strategi sistematis, jadi tidak berdiri sendiri dan menjadi suatu acuan. Terdapat kebutuhan untuk pendidikan kesehatan reproduksi, agama dan sebagainya untuk mendukung. Kondom merupakan alat terakhir sebagai pencegahan penyakit menular seksual, HIV dan mencegah kehamilan yang tidak diinginkan.

10. ODHA tidak dapat bekerja di ruang publik

Dengan semakin meningkatnya kualitas obat dan pengobatan HIV maka ODHA berhak dan boleh bekerja seperti manusia biasa di ruang publik. ODHA dengan jumlah sel CD4 (sel yang berguna sebagai tentara ketahanan tubuh) cukup sekitar: 800 ke atas dapat bekerja dengan baik. Organisasi Buruh Internasional (ILO) bersama pemerintah Indonesia kerap memberikan sosialisasi dan perlindungan bagi ODHA untuk dapat bekerja secara normal.



Semoga informasi dasar di atas terkait fakta dan mitos HIV dapat menjadi sebuah landasan berpikir sederhana kedepannya dalam penanggulangan HIV di masyarakat. Adapun pemerintah Indonesia dengan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional terus melakukan upaya – upaya dalam isu penanggulangan. Perkembangan terkini isu ini akan dibahas dalam Pernas AIDS V 2015. Sampai berjumpa di Makassar dan tetap berpola hidup sehat.

Minggu, 14 Juni 2015

PROTES

rasa..
rasakanlah..
raba perlahan, pedang keadilan kian tumpul

lihat..
lihatlah..
lihat mereka lapar, harga pangan dan kebutuhan kian mahal

dengar..
dengarlah..
dengar suara kaum yang dibungkam terpaksa, tak tahu mesti bagaimana – lalu, terdiam

karena kita rakyat
kita melarat
sebab mereka pejabat
lupa pada amanat

lantas tunggu apakah?
bergeraklah..

kumpul..
kumpulkanlah..
kumpul, kunjung lintas becek sawah di desa-desa, bau busuk di gorong-gorong kumpul, peluklah cintanya

belajar..
ajarkan..
belajar bersama dalam pendidikan pembebasan; bukan justru belenggu kebodohan

turun..
turunkan..
turun ke jalan, juga rumah dewan!

lawan Lintah – lintah penghisap kursi kekuasaan
teriakan ‘tuk petuah kebijakan yang lambat laun, makin pikun
bakar saja; bakar api semangat mereka!
bumi hanguskan biangbiang kerakusan!

bilang ini rakyat
kini nekat
pada mereka keparat
penjahat berjudul pejabat

apa yang kita punya? 
PRO – TES 
apa yang kita bisa? 
P.R.O.T.E.S 
apa ada kita daya? 
PROTES!

Tangerang, 13 April 2015