Translate

Rabu, 26 Agustus 2015

Diskriminasi Dalam Isu HIV - Ruang dan Pencegahan



Pada kesempatan sebelumnya kita sudah membahas mengenai stigma pada isu HIV. Tulisan kali ini akan membahas jika diskriminasi yang dilatarbelakang oleh stigma telah tertanam dan mengakar di pemikiran masyarakat secara sadar atau tidak sadar. 

Tindakan pembedaan pada ODHA akan menggambarkan secara konkret bagaimana stigma berkembang menjadi sebuah diskriminasi. Sebelum membahas lebih mendalam mari kita sepakati bersama terlebih dahulu dengan sederhana apakah yang dimaksud dengan diskriminasi? yakni, tindakan - tindakan bersifat merugikan berlatarbelakang hirarkis struktural berbentuk pembedaan, pembatasan dan pemisahan hak dengan pembenaran akan ketakutan terhadap suatu hal yang tidak diketahui.


Courtesy: Okezone.com


Untuk memetakan kondisi di masyarakat terkait situasi diskriminatif kepada ODHA. Kita dapat membaginya menjadi 3 kelompok: 



  1. Diskriminasi oleh masyarakat, keluarga dan lingkungan
  2. Diskriminasi oleh negara (pemerintah)
  3. Diskriminasi oleh ruang kerja (perusahaan/swasta) 

1. Diskriminasi oleh Masyarakat, Keluarga dan lingkungan

Merupakan lingkup terkecil dan terdekat dari ODHA. Saat seseorang pertama kali mengetahui status HIV-nya kemungkinan besar orang terdekat yang mengetahui adalah keluarga: orang tua, pasangan dan saudara. Harapannya adalah adanya dukungan terkuat muncul dari mereka. Namun, bila mereka tidak terpapar informasi dengan baik dan benar kemungkinan yang terjadi justru sebaliknya; timbul diskriminasi. Oleh karena itu penguatan dalam konseling individu dan keluarga menjadi vital menjembatani komunikasi pasien, layanan kesehatan dan keluarga paska penerimaan statusnya. Penerimaan dari keluarga menjadi pemicu dukungan yang mempengaruhi penguatan ODHA secara psikis. 


Seorang ODHA yang berdaya biasanya mengantisipasi situasi ini dengan pelbagai strategi. Beberapa langkah diantaranya: Menyiapkan materi KIE (komunikasi, Informasi dan Edukasi) terkait HIV - AIDS dalam bentuk: Selebaran, majalah, buku bahkan film untuk dipelajari bersama keluarganya.


Keluarga yang mampu menerima status ODHA menjadi awal terbentuknya keluarga yang berdaya dalam isu HIV bahkan  dapat menjadi role model untuk keluarga ODHA lainnya sehingga menjadi jalan terbinanya citra ODHA yang baik dan benar di masyarakat.


Dalam konteks lingkungan selain skala terdekat yakni, tempat tinggal. Juga tak kalah penting dan menjadi perhatian adalah lingkungan belajar (pendidikan) atau sekolah. Kerap kali pemberitaan di media massa mengabarkan tentang siswa yang dijauhi atau dipaksa keluar oleh sesama orang tua/wali murid dikarenakan memiliki status HIV. Bahkan terdapat kasus di mana sekolah sendiri tanpa ada desakan pihak mana pun langsung memberhentikan anak didiknya yang berstatus HIV demi menjaga pencitraan sebagai sekolah unggulan. Mungkin.

Untuk isu dalam lingkungan atau dunia pendidikan ini sangatlah penting tidak hanya satu kelompok di masyarakat saja yang bertindak menanggulangi isu ini melainkan dengan kerjasama bersama pemerintah serta kelompok lainnya di masyarakat dalam melakukan kampanye anti diskriminasi di lingkungan pendidikan.

2. Diskriminasi Oleh Negara (Pemerintah)


Bagaimana Negara dapat melakukan diskriminasi kepada warganya dalam konteks kesehatan atau isu HIV? Negara dapat diskriminatif melalui: individu, lembaga dan kebijakan.


Individu: Sadar atau pun tidak sadar, oknum aparat pemerintahan kerap dan dapat bertindak diskriminatif dan melupakan etos pemerintahan dalam memberikan pelayanan kepada warganya secara non diskriminatif. Hal ini terjadi bisa akibat minimnya informasi, pengetahuan terkait hal yang ditangani serta menjadi tanggungjawab pengabdiannya. Terlebih bila (dan faktanya berdasarkan data memang kebanyakan) pasien HIV ini dari kalangan masyarakat miskin. Sebagaimana kita mengetahui banyak layanan saat ini telah di-cover oleh BPJS demi memudahkan akses layanan kesehatan bagi masyarakat miskin. 


Sudah bukan rahasia masyarakat miskin menanggung stigma dikarenakan kemiskinannya sehingga timbul paradigma di kepala oknum aparat pemerintah untuk menomorsekiankan pelayanan kepada mereka. Beberapa kali oknum aparat terbukti memberikan pelayanan tidak profesional, menjelekan status kemiskinan sebagai dampak kemalasan masyarakat miskin dan bahkan memaki mereka untuk menerima pelayanan kesehatan dengan apa adanya tanpa banyak protes (beberapa kasus terungkap di media sosial). 


Pada kasus seperti ini di mana diskriminasi telah menghambat pelayanan terhadap warga negara dikarenakan status kemiskinan dan penyakitnya (HIV) menjadikan kapasitas dan profesionalisme dari pengabdian para aparatur pemerintahan sebuah pertanyaan besar.

Lembaga: Bagaimana dengan sikap pemerintah bila terjadi kasus di mana ada PNS terbukti berstatus HIV positif? Skala prioritas pada pemerintah daerah terkait isu HIV pun dapat menjadi indikator di mana beberapa Pemerintah Daerah bahkan cenderung berkilah bahwa daerahnya bebas isu HIV karena berlatarbelakang agamis sehingga HIV atau ODHA (yang kerap dicap sebagai penyakit atau orang kutukan) tidak menjadi fokus dalam pembangunan daerahnya.

Kebijakan: Terkait otonami daerah banyak kebijakan atau Peraturan daerah (PERDA) dalam penyusunannya ternyata tidak berbasis kebutuhan daerah melainkan dikarenakan pencitraan penguasanya demi mendapatkan simpati pendukungnya. Semisal jika sebuah daerah memilikin kecendrungan identik dengan agama tertentu sebagai basis suara atau dukungan terkuat maka penguasa akan lebih bergerak menciptakan peraturan yang akan memberi dukungan kepadanya terlepas jika dampaknya justru kontra produktif. Beberapa kebijakan bahkan cenderung diskriminatif seperti: PERDA Hijab dan pelarangan keluar atau jam malam bagi perempuan yang mendiskriminasikan gender dan tidak menjawab bahkan menciptakan permasalahn baru. 

Lalu bagaimanakah langkah pemerintah untuk menjawab permasalahan diskriminasi ini?

  • Sosialisasi program secara menyeluruh dan optimal disertai pengawasan program kepada jajarannya secara berkala dalam isu HIV.
  • Menyelenggarakan pelatihan demi merespon program yang akan berjalan serta menanamkan etos kerja juga profesionalisme pada aparat.
  • Menyusun regulasi internal terkait program dan kelembagaan termasuk mengatur pemberian sanksi pada kategori pelanggaran yang terbilang serius sehingga mendukung terciptanya pelayanan non diskriminatif dalam pemerintahan. 
  • Melibatkan LSM, Ormas secara lebih intensif dalam penyusunan peraturan atau kebijakan di berbagai tingkat pemerintahan.

3. Diskriminasi Oleh Ruang Kerja (Perusahaan/Swasta)

Baik pada proses pengumuman, penyaringan, pelatihan, proses kerja dan paska kerja kerap ditemukan dan terjadi permasalahan yang terkait isu diskriminasi. Dalam konteks HIV kita akan membedah macam dan pencegahannya. 

Sebagaimana pada negara model pelaku diskriminasi pada ruang kerja pun dibagi menjadi: orang dan lembaga. Orang disini dapat diartikan sebagai atasan atau sesama pekerja. Sedangkan lembaga dapat berbentuk perusahaan, divisi/bidang dan kebijakan.

Contoh diskriminasi yang dilakukan oleh orang pada ruang kerja: pengucilan dari pergaulan ODHA yang dilakukan rekan pekerja lainnya. Sementara perusahaan dapat melakukan diskriminasi kepada ODHA sebagai berikut: Melarang ODHA bekerja di perusahaan tanpa bukti pertimbangan kesehatan yang valid hanya berbasis asumsi, pemberhentian hanya karena status HIV dari pekerja. Dalam konteks kebijakan perusahaan misalnya: Pemberhentian semena-mena tanpa uang pesangon atau sesuai ketentuan yang manusiawi sebagaimana layaknya, tidak adanya pemberian cuti bagi ODHA yang sedang perawatan dalam stadiu kritis atau fase AIDS.

Asuransi kesehatan yang dikelola pihak swasta pun sampai saat ini sangat ragu dalam memberikan klaim terkait penyakit bawaan atau infeksi oportunitis bila seseorang memiliki status HIV sebagai pasien.

Hal apakah yang seyogyanya menjadi perhatian dan rekomendasi dalam isu diskriminasi ODHA di ruang kerja?


  • Perusahaan bekerjasama dengan pemerintah (dikordinasikan oleh KPA), LSM dan lembaga PBB seperti ILO mengadakan sosialisasi atau penyuluhan kesehatan terutama dalam hal ini isu HIV.
  • Pemerintah membentuk regulasi berbasis referensi dari panduan yang telah dikembangkan oleh ILO terkait ruang kerja yang anti diskriminasi.
  • LSM dan Ormas mendorong agar pemerintah memperbaiki regulasi yang ada terkait bantuan sosial, asuransi sehingga pasien HIV mendapatkan haknya dengan tidak dipersulit permasalahan akses dan administrasi
Dalam hal penyusunan pelbagai Undang - Undang atau produk hukum serta kebijakan atau pun penganggaran yang terkait harkat hidup ODHA maka perlulah kiranya didorong pemberdayaan sehingga terjadi keterlibatan yang optimal di mana hak dan suara ODHA dapat disampaikan dan dipenuhi sesuai kebutuhan dari permasalahan yang ada. Oleh karena itu rekomendasi lain untuk ODHA khususnya adalah penguatan kapasitas sehingga memiliki kompetensi untuk terlibat dalam penyusunan dan pengambilan keputusan yang bersifat strategis dan berbentuk formal.

Maka momentum Pertemuan Nasional AIDS V Tahun 2015 di Makassar nanti menjadi vital sebagai titik kordinasi yang difasilitasi oleh Komisi Penanggulangan AIDS Nasional sebagai fasilitator dari pihak pemerintah dengan LSM, Ormas serta perusahaan atau Swasta dalam perumusan strategi penanggulangan AIDS nasional berdasarkan pengalaman dan temuan yang dijabarkan pada pertemuan tersebut. Di mana tentunya isu stigma dan diskriminasi masih memiliki tempat untuk dibahas secara menyeluruh. Sampai berjumpa di PERNAS AIDS V 2015 di Makassar. Salam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar