Translate

Jumat, 31 Juli 2015

Stigma Pada Isu HIV - Hakim Yang Kerap Memvonis Buruk


Courtesy: aids.about.com

Saya kerap mencoba mencerna pelbagai isu yang ada di masyarakat. Salah satu yang menarik adalah dalam hal konflik keberagaman dalam masyarakat kita yang heterogen. Konflik keberagaman memuat cerita tentang ketakutan yang diwarnai pemanfaatan dengan cara mengobarkannya sehingga meledaklah dalam bentuk kekisruhan sosial. Lalu dari manakah ketakutan dapat muncul begitu menakutkan dan meluas dampaknya?

Ketakutan sering sekali berangkat dari ketidaktahuan. ketidaktahuan yang menuai prasangka. Prasangka yang menjadi sebuah cap. Cap pada sebuah golongan, kaum, kelompok. Cap buruk yang jamak dikenal sebagai stigma.

Dalam hal mengenal stigma, dampak dan bagaimana menekannya saya akan coba mempersempitnya melalui kaca mata sebuah isu: Isu kesehatan, kita perkecil kembali menjadi kontekstual HIV dan AIDS.

Dalam hal isu HIV kita mungkin bisa asumsikan betapa pengetahuan masyarakat sangat kecil terutama pada awal ledakan infeksi wabah ini (Bali, kisaran pertengahan tahun 80-an). Dewasa ini keadaan sudah bisa kita katakan jauh lebih baik, walau memang stigma tidaklah hilang secara penuh dan mungkin stigma tidak akan pernah hilang dari muka bumi dalam hal isu apapun. Setidaknya saat ini pengetahuan dan keterlibatan masyarakat telah mencapai titik yang baik.

Di awal, ketidaktahuan pada masyarakat mengakibatkan stigma melekat utamanya pada Orang Dengan HIV - AIDS (ODHA) tidak terlepas juga mengena pada orang - orang terdekat mereka (OHIDA). Stigma pada awalnya memang prasangka yang dalam dampak membesar menjadi tindakan yang bersifat diskriminatif. ketakutan pada masyarakat berimbas menjadi ketakutan pada mereka orang - orang yang memiliki prilaku risiko tinggi untuk infeksi HIV agar membuka diri dan melakukan langkah pencegahan dini. Hal ini pun sebenarnya termasuk juga di masyarakat secara luas. Ketakutan mengambil langkah pencegahan dini (Utamanya tes HIV/VCT) memunculkan sebuah problema atau fenomena yang dikenal sebagai "gunung es" di mana angka penyebaran infeksi HIV hanya merupakan wujud puncak dari gunung es tersebut. Kita hanya meraba-raba bagian dasar (jumlah infeksi HIV) dari gunung es.

Dampak mata rantai dari stigma itu sendiri ternyata sebuah ketakutan menghasilkan ketakutan lainnya. Para kelompok dengan prilaku resiko tinggi takut dengan vonis dari masyarakat mengakibatkan mereka menarik diri dan menjauh dari informasi kesehatan yang dapat membantu dirinya dan mencegah infeksi baru. Hal ini menjadi mimpi buruk dari meluasnya infeksi.

Lalu hal apa yang dapat dilakukan demi mencegah stigma dan dampaknya yang meluas? Beberapa hal berikut dapat menjadi acuan:

1. Edukasi dan Informasi

Menjadi penting adalah untuk mengurutkan informasi terkait apakah atau tentang apakah yang masih sangat kurang dimiliki masyarakat. Hasil observasi dan pemetaan akan menjadi sebuah kurikulum dalam menentukan hal - hal yang penting untuk disampaikan.

2. Komunikasi yang simpatik

Segala informasi yang disampaikan baik secara personal atau kepada publik diharapkan memperhatikan bentuk komunikasi yang simpatik, Dibutuhkan kesabaran dalam menghadapi pertanyaan dan kesalahpahaman yang sekian lama telah mengakar.

3. Kampanye yang efektif

Saat ini begitu banyak media kampanye yang dapat dimanfaatkan selain turun langsung ke lapangan melalui bentuk sosialisasi atau penyuluhan. Mulai dari media cetak, elektronik, internet dan tentu yang terbaru adalah menggunakan media sosial. Upayakan menggunakan pengemasan kampanye yang populer, hindari penggunaan bahasa dan simbol yang: sulit, menyeramkan dan membawa SARA.

4. Munculkan role model yang berdaya

Membuka diri dan berbaur dengan masyarakat umum, menceritakan pengalaman bagaimana hidup dengan atau kebenaran tentang HIV akan membuka masyarakat terlebih jika sang role model / sosok diperlihatkan dapat berdaya dengan segala beban yang diterimanya. Hindari memunculkan role model yang seolah membutuhkan belas kasih dari masyarakat.

Upaya upaya di atas terus dilakukan oleh kelompok dan masyarakat dalam rangka menekan stigma sehingga memberi ruang yang lebih memungkinkan dalam penanggulangan HIV di Indonesia. Masyarakat dengan pelbagai kelompok seperti: Lembaga Swadaya Masyarakat, Kelompok Dukungan Sebaya, Jaringan Nasional dan juga individu. Bekerja bersama bergandengan tangan dengan pemerintah dalam hal ini dikordinasikan oleh Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN).

Kemajuan dan langkah yang telah diambil oleh mereka akan disajikan serta dibahas dengan menyeluruh termasuk mengenai perkembangan penekanan stigma di masyarakat pada Pertemuan Nasional AIDS V 2015 di Makassar.

Pastinya seluruh upaya memerlukan kebersamaan, kesabaran dan ketelitian seluruh pihak sehingga dapat melakukan respon atas gejolak yang terjadi di tengah masyarakat dan menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi di dalamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar