Translate
Senin, 11 Juni 2012
Selamat Pagi, Siang, Sore dan Malam
Dini hari masih terasa sepi ketika kita baru mendekat, menjelang pagi mulai riuh dengan nafas kehidupan.
Pagi adalah awal dimana begitu segar semua kata dan hal yang terbuat.
Dan siang hari ketika semua mulai memanas kita berkeluh kesah.
Menjelang senja mulai mendingin dan kian lelah.
Malam tiba, kegelapan menyapa. Sepi, kita tak lagi bersama.
Akhir.
Bahkan kita masih berharap dan berupaya menemukan kembali pagi di keesokan harinya...
Jumat, 25 Mei 2012
Indonesia dan Divide and Conquer kekinian
Indonesia paska reformasi yang konon tidak tercapai secara komprehensif, sedang beralih dalam proses transisi masayarakat yang madani. Era ini diperlihatkan melalui proses-proses pembaharuan terutama dibidang hukum dan HAM. Dalam rangka menjunjung demokrasi yang selama orde sebelumnya semu dan terbelenggu. Maka kebebasan bersuara, berkumpul dan berekspresi adalah merupakan salah satu fundamen dari demokrasi yang didambakan.
Berbagai entitas pun bermunculan dalam euforia ini dengan pelbagai kebutuhan dan kepentingan mereka. Salah satu yang menarik dan menjadi fenomena saat ini adalah organisasi-organisasi kemasyarakatan (ormas) dan keagamaan yang tumbuh pesat dalam alam yang konon demokrasi ini. Dalam konteks kebebasan berkumpul memang hal ini adalah indikator yang baik. tapi muncul kekhawatiran yang mulai terjadi seiring dengan kehadiranan ormas-ormas ini. kita memahami bahwa dalam sebuah organisasi terdapat kultur dan dilengkapi dengan itu loyalitas dan ego dari individu-individu di dalamnya. due perangkat tersebut adalah kerangka pembelaan ideologi atau visi dari mana mereka berangkat. bicara tentang kesukuan dan agama ini merupakan dua aspek yang memiliki sensitifitas tinggi.
Kita tidak bisa kesampingkan keragaman kultur di nusantara begitupula dengan aneka agama adat. bila kita buka catatan masa lalu keragaman yang indah ini justru menjadi strategi penguasaan dari kolonial Belanda. "devide et empera" sebagaimana kita mengenalnya "pecah belah dan kuasai". 3,5 abad waktu yang kita ketahui bagaimana mereka menguasai Indonesia, mengeksploitasi sumberdaya alamnya. Hanya demi mempertahankan jikalau kerajaan-kerajaan masa lalu tersebut tidak boleh sampai bersatu dalam sebuah perlawanan frontal. dan strategi ini cukup berhasil bukan?
Lalu apa korelasi sejarah singkat diatas dengan konteks kekinian paska reformasi? Ada dua hal yang saya lihat. Salah satunya poin diatas yang sudah disampaikan: Euforia dalam berekspresi dan berkumpul. Individu-individu dengan perasaan dan kebutuhan yang sama berkumpul dan mengukuhkan identitasnya, yang pada masa orde sebelumnya cukup dibungkam oleh penguasa. Organisasi-organisasi masyarakat dengan berbagai latar belakang ini ada yang terbentuk atas dasar keinginan dari akar rumputnya langsung dan juga ada yang memang berdasarkan informasi yang banyak berserekan atau terhembus, sengaja dibentuk atas kepentingan elit-elit politik (dimana bisa saja dalam dan luar negeri). kejanggalan adalah bagaimana organisasi-organisasi ini dapat melangsungkan kegiatan-kegiatan mereka. mungkin janggal kata yang cukup keras mengingat umumnya setiap organisasi dengan manajemen yang baik memiliki mekanisme dana mandiri. yang menjadi tanda tanya adalah ketika organisasi-organisasi tersebut berkembang cukup pesat dengan kegiatan dan pergerakan dengan skala besar. Apakah dana mandiri memang cukup untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan mereka termasuk penganggaran bagi para pengurusnya? langkah yang umum diambil adalah mencari donasi. Donatur bisa datang dari: Individu - individu, lembaga donasi (dalam maupun luar negeri) dan yang cukup strategis adalah korporasi atau industri. Beberapa pertanyaan menarik kemudian muncul:
1. Apakah pencarian ini melalui proposal-proposal resmi atau melalui pintu masuk dengan "cara-cara" yang tidak etis?
2. Pemberian donasi kerap diwarnai dengan kepentingan yang menyertai dari donatur. walau kita tak bisa menampikan juga bahwa ada sebagian yang cukup ikhlas. Apakah ada lembaga yang melakukan penelusuran pendanaan, sumber dan penggunaan dana dari donatur tersebut? Apakah hal ini dimungkinkan menurut ketentuan hukum positif kita? itu sebatas pemikirin dari saya.
Kembali mengenai fenomena dari organisasi-organisasi masyarakat berbasis suku atau agama yang kerap melakukan kekerasan. kita semua yang mecoba berfikir jernih pasti merasa terpukul saat ini dengan kondisi dimana konflik kerap terjadi. emosi pun kerap membelenggu pikiran kita dalam kotak. iya, kotak-kotak yang kemudian memisahkan mencerai berai keutuhan dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini berimplikasi dengan melemahnya kekuatan masyarakat. ketika masyarakat melemah siapa yang diuntungkan? pemerintahan yang menguat. negara yang semakin tiran. Diamnya negara tidak bisa diartikan sebagai kebodohan. Pembiaran-pembiaran terhadap konflik-konflik yang muncul terlalu janggal. Kita mentertawakan negara yang terlihat lemah, tapi kita tak pernah tahu jangan jangan justru mereka yang terbahak-bahak dalam kesunyian. bukan tidak mungkin semua ini sudah merupakan strategi mereka. Naif, bila kita tidak menengok ke sejarah dibelakang bagaimana organisasi-organisasi tersebut muncul dan momen dimana mereka mulai terbentuk adalah saat genting, sehingga diperlukan preparasi dalam melanggengkan hegemoni yang ada walau dari balik layar pemerintahan yang berkuasa sekalipun.
Pengalihan isu dan blok-blok yang bermunculan. anatara satu kelompok dengan kelompok lain. bahkan satu kelompok dengan prinsip-prinsip yang sama pun dipecah menjadi kecil. Ini demi pelemahan, upaya ini merupakan straegi yang sudah dirancang sedemikian rupa walaupun membutuhkan waktu bertahun-tahun dan melewati periode pemerintahan yang silih berganti.
Kesampingkan semua asumsi-asumsi yang telah saya tuliskan begitu banyak probabilitis terkait skenario pemecahan masyarakat Indonesia. Aktor-aktor intelektualnya pun masih dikira-kira. baik di tingkat nasional ataupun internasional.saya sepakat masyarakat harus terus mendobrak pemerintah dalam pembiaran-pembiaran konflik. Setidaknya ini menjadi catatan bahwa masyarakat masih melihat pemerintah perlu bertanggungjawab dan bertindak atas jatuhnya korban dari warga negara mereka didalam wilayah yang "masih" berdaulat ini. Tapi penggiringan terus terjadi, dalam situasi perlawanan, penguasa cukup jeli untuk memanfaatkan keberhasilan penguasa sebelumnya dalam menjajah bangsa ini. "Divide and Conquer" atau pecah dan kuasai. keberagaman kita dijadikan kelemahan yang terus didesak, bahkan kita pun terlena, secara emosional. Mereka yang awalnya terintimidasi mulai mengintimidasi, alami memang. Lingkaran kebencian yang tak putus-putus.
Mari bersama-samakita terus selidiki dan lakukan upaya-upaya konstruktif bila memang ingin bertahan sebagai satu kesatuan masyarakat yang kuat (masyarakat dunia?) :). saya tidak berbicara mengenai nasionalisme sebagai esensi, bahkan saya tidak sepakat dengan konsep institusi negara. Tapi ini adalah tentang bagaimana upaya-upaya keji dalam melanggengkan kekuasaan dan tirani ini akan sulit bila masih ada fraksi-fraksi didalam masyarakat kita. Diperlukan upaya-upaya tersistimatis dalam berbagai tingkatan. komunikasi dan edukasi yang konstruktif dengan itikad mencari dan menuju solusi dalam keterpurukan dan melemahnya masyarakat kita. Didik generasi selanjutnya untuk lebih menghargai keragamaan, kesetaraan. Lakukan dialog-dialog dalam dan antar kelompok, diskusi walau kita memahami atau berasumsi sulitnya memecah kerasnya prinsip-prinsip satu sama lain. Tetapi yakini ada kesamaan-kesamaan yang bisa kita temukan dan coba tasi bersama: kemiskinan misalnya selain tentunya isu keragaman yang dimanfaatkan diatas, tingkat pendidikan yang rendah juga layak ditindaklanjuti. ini sela yang layaknya ditutup bersama-sama oleh masyarakat. Betul ini Tanggungjawab utama pemerintah dalam pemenuhan HAM sebagaimana kontrak sosial pembentukan negara, tapi mereka kerap melanggarnya. Kita isi seraya terus mendorong perbaikan di dalam pemerintahan. Potensi-potensi pecah belah pun mengambil dari keuntungan dari sini. Tiada netralitas, keberpihakan kita adalah bersama dengan mereka yang tertindas oleh penguasa tiran. Suara nurani dalam ketersesatan saya hanya berkata: Bersatu dan Lawan!
Langganan:
Postingan (Atom)